Sejarah Provinsi Papua Selatan

Provinsi Papua Selatan merupakan satu di antara provinsi di Indonesia yang telah dimekarkan dari Provinsi Papua. Ibu kotanya berada di Kabupaten Merauke. Papua Selatan dimekarkan dari Provinsi Papua bersama dua provinsi lainnya yakni provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2022, yang ditandatangani presiden Indonesia, Joko Widodo, tanggal 25 Juli 2022.

Papua Selatan telah diperjuangkan untuk menjadi provinsi tersendiri sejak tahun 2002 dan kembali diajukan menjadi provinsi pada tahun 2020. Dengan demikian, perjalanan pembentukan Papua Selatan demi mewujudkan Tanah Papua menjadi lebih maju tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sebaliknya, perjalanan membentuk provinsi yang juga dikenal dengan nama wilayah adat Anim Ha ini memakan waktu sekitar 20 tahun.

Pemekaran provinsi Papua Selatan awalnya direncanakan akan terdiri atas lima kabupaten, yakni Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Merauke. Atas dasar pertimbangan wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang kemudian memilih undur diri.

Papua Selatan berada di dataran rendah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini dengan banyak rawa-rawa dan sungai besar seperti Digul dan Maro. Wilayah ini memiliki hasil bumi seperti sagu dan ikan yang menghidupi suku-suku di tepian sungai dan pantai seperti Marind, Asmat, Kombay, Koroway, Muyu maupun suku-suku lainnya.

Suku-suku di Papua Selatan termasuk dalam wilayah adat Anim Ha. Mereka umumnya menggunakan perahu dayung dan membuat ukiran-ukiran kayu khususnya Asmat. Papua Selatan terdapat Taman Nasional Wasur yang memiliki kekayaan hayati yang tinggi seperti walabi, musamus atau rumah semut raksasa, dan cenderawasih.

Masa Kolonial

Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa di wilayah Papua Selatan, daerah tersebut dihuni oleh suku-suku yang bertahan hidup dengan berburu, meramu, dan berkebun. Lalu pada abad ke-19, bangsa Eropa mulai menjajah Pulau Papua. Mereka membelah wilayah tersebut dengan garis lurus yang menyebabkan bagian barat menjadi wilayah Nugini Belanda dan bagian timur menjadi wilayah Inggris.

Meskipun begitu, warga Marind yang dikenal sebagai pemburu kepala kerap melewati perbatasan tersebut sehingga pada tahun 1902, Pemerintah Belanda mendirikan pos militer di ujung timur Papua Selatan.

Pos yang berada di sekitar Sungai Maro itu didirikan untuk memperkuat perbatasan dan memberantas tradisi berburu yang dilakukan oleh warga Marind. Di samping itu, Belanda juga menjadikannya sebagai tempat penyebaran agama Katolik yang ditujukan pula untuk menghentikan tradisi pemburuan kepala oleh warga Marind. Lambat laun, pos tersebut menjadi makin ramai karena letaknya yang berada di Sungai Maro, pemerintah Belanda pun menamai wilayah tersebut dengan nama Merauke sekaligus ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Nugini Selatan. Orang-orang Jawa kemudian mulai berdatangan untuk membuka lahan persawahan di sana.

Seiring dengan berjalannya waktu, Belanda mendapatkan informasi mengenai keberadaan sebuah sungai yang lebih besar, yaitu Sungai Digul. Berdasarkan informasi tersebut, pemerintah Belanda bergerak cepat melakukan ekspedisi ke sana. Bahkan, pada tahun 1920-an, muncul ide dari Belanda untuk memanfaatkan pedalaman Papua sebagai kamp tahanan yang mereka beri nama Tanah Merah. Dengan kata lain, wilayah Digul itu merupakan tempat para tokoh dan proklamator bangsa, seperti Sutan Sjahrir dan Moh. Hatta, dibuang oleh Belanda.

Pada tahun 1960-an, pada saat Belanda sudah meninggalkan wilayah-wilayah tersebut, Tanah Merah pun makin ramai dan pada akhirnya menjadi Kabupaten Boven Digoel. Sekitar tahun 1960-an itu pula, seluruh Nugini Belanda berhasil dikuasai Indonesia dan wilayah Nugini Selatan diubah menjadi Kabupaten Merauke. Pada tahun 2002, Kabupaten Merauke dimekarkan menjadi empat kabupaten, yakni Kabupaten Merauke sebagai kabupaten induk, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, dan Kabupaten Asmat. Pada tahun 2022, seluruh wilayah tersebut dipersatukan menjadi Provinsi Papua Selatan.